Kita tentu sudah tidak asing dengan sosok sastrawan
Indonesia bernama Pramoedya yang lebih dikenal dengan nama Pramoedya Ananta
Toer. Beliau lahir dari seorang Ayah yang bekerja sebagai guru atau juru tulis
dan Ibu yang berdagang nasi. Lika-liku kehidupan beliau jalani, pernah
diasingkan di pulau Buru, menjadi ketua LEKRA, berseteru dengan sesama
sastrawan pun pernah menjadi bagian dari hidup beliau.
Namun, sekalipun banyak sekali aral melintang dan
hambatan-hambatan menghadang, terutama dalam masa orde baru, beliau tetap tekun
menulis hingga menghasilkan puluhan novel, yang sebagian telah diterjemahkan
dalam bahasa asing. Kebanyakan dari buku-bukunya bertema nasionalis dan kebangsaaan,
yang membawa pembaca untuk lebih mencintai tanah airnya sendiri. Roman paling
terkenal dari buatan beliau adalah tetralogi pulau buru. Berikut adalah
karya-karya Pram yang bisa disimak :
1. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah, Rumah Kaca (Tetralogi Pulau buru)
Keempat novel di atas memiliki tema nasionalisme dan percintaan,
di mana tokoh utama yang bernama R.M. Minke (julukan itu merupakan nama pemberian gurunya Meneer Rooseboom karena
jengkel akan kebodohannya sewaktu kelas awal saat sekolah di E.L.S. Namun
setelah beranjak dewasa ia menjadi seorang pemikir dan seorang yang terobsesi
dengan ilmu pengetahuan dan kemajuan zaman.) yang hidup dalam masa penjajah kolonial
pemerintah Belanda. Di mana, pada waktu itu menjadi Belanda merupakan hal paling
membanggakan bagi pribumi.
Dalam novel pertama yaitu Bumi Manusia berisi mengenai
kondisi pribumi yang begitu terpuruk dalam cengkraman Kolonial. Adanya pergundikan, munculnya kelas-kelas sosial
di kalangan masyarakat, serte pengotak-ngotakan rasa-ras yang pada akhirnya menempatkan pribumi pada tempat terendah setelah
kaum totok, peranakan, cina dan arab, serta kaum priyayi. Kemerosotan moral
pribumi serta penindasan yang semena-mena inilah yang menggugah Minke untuk
mulai melawan melalui tulisan-tulisan di surat kabar.
Dalam novel kedua, yaitu Anak
Semua bangsa mengisahkan pertemuan langsung Minke yang seorang priyayi yang merupakan siswa HBS
Surabaya serta realita di lapangan. Trunodongso, seorang petani yang
menolak tanahnya disewakan secara paksa pada perusahaan gula milik kolonial
semakin menggugah kesadaran Nasionalnya.
Pada novel ketika, Jejak Langkah,
pribadi Minke semakin matang. Di buku ini, Minke menemukan bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, yaitu dengan organisasi dan pers yang membuat pemeriantah
kolonial kebakaran jenggot. Setelah itu, pada buku terakhir, yaitu rumah Kaca,
merupakan periodisasi pemberantasan pergerakan-pergerakan pribumi oleh pemerintah
kolonial. Berbeda
dari ketiga buku sebelumnya yang menjadikan Minke sebagai tokoh utama, dalam buku
ini, J. Pangemanann,
seorang agen kepolisian kolonial yang juga sahabat Minke, ditugaskan untuk memadamkan perlawanan pribumi.
Pergolakan batinnya membuat
Rumah Kaca begitu sarat pesan moral.
Bersambung....
(diolah dari berbagai sumber)