Membicarakan soal dugderan tak bisa lepas
dari bulan puasa, perayaan penyambutan bulan puasa, dan warak ngendhog. Kenapa saya
bilang tidak bisa lepas? Karena kenyataannya, setiap kali bulan puasa datang maka
dugderan dimulai, dan warak ngendhog pun akan ikut tampil dalam acara ini.
Dugderan yang berasal dari kata ‘dug’
yaitu bedug dan ‘der’ yang bermakna pada suara letusan meriam. Sejarah dugderan
berasal dari masa kepemimpinan Bupati
Demak, Aryo Purbaningrat. Ketika itu, sang
Bupati bermusyawarah dengan sekelompok ulama untuk mengadakan penentuan awal Ramadhan di Masjid Kauman, Semarang.
Dalam penentuan awal Ramadhan ini, para ulama menghasilkan ketetapan resmi
kapan dimulainya awal Ramadhan. Sembari menunggu hasil musyawarah hasil keputusan
penetapan Ramadhan, Bupati Aryo Purbaningrat mengadakan pasar malam untuk rakyat
semarang di sekitar masjid Semarang. Setelah pembacaan awal bulan ramadhan, dilakukan
penabuhan beduk disertai bunyi-bunyian meriam dan mercon yang berulang-ulang. Itulah
awal sejarah terjadinya dugderan. Dari tahun ke tahun, tradisi dugderan ini terus
berlanjut, bahkan dikemas supaya menjadi lebih menarik.
Pasar malam tetap ada di kawasan pasar Johar. Karnaval menyambut datangnya
awal bulan puasa dilakukan dan disinilah wark ngendhog, sebagai ikon kota Semarang,
banyak terlihat. Warak ngendhog memiliki bentuk fisik unik, yang mencerminkan 3
suku yang tinggal di Semarang. Kepalanya
menyerupai kepala naga (Cina), tubuhnya layaknya buraq (Arab), dan empat
kakinya menyerupai kaki kambing (Jawa).
Tidak jelas asal-usul Warak Ngendog. Binatang
rekaan ini hanyalah mainan dalam bentuk patung atau boneka celengan yang
terbuat dari gerabah. Siapa yang menginspirasi pembuatannya pun tak ada yang
tahu. Yang pasti sejak dugderan digelar, sejumlah pedagang menggelar mainan
ini. Dalam setiap penjualan, penjual menaruh telur ayam matang di
bawahnya. Telur itu turut serta dijual bersama waraknya.
0 komentar:
Posting Komentar